top of page
Search
  • Writer's pictureFaris Rahman

Berlayar di Arus Informasi

Banjir informasi itu nyata. Lalu apa sikap kita?




Pernahkah merasa panik saat anda baru bangun tidur dan tidak ada ponsel sejauh jangkauan tangan? Atau pernahkah anda menjatuhkan ponsel di kamar mandi? Menjatuhkan sendok Ketika sedang makan karena asyik membaca lini masa di media sosial? Mungkin tiga kejadian tersebut sudah tidak aneh dan kita menjadikannya wajar sekarang ini. What’s the big deal? Apakah yang semacam ini harus diributkan?


Kita hidup di era banjir informasi. Ada lebih dari 4 juta postingan blog yang diterbitkan setiap hari. Lebih dari 800.000 podcast dengan 30.000.000 episode tersedia. Puluhan email masuk tidak berhenti pada inbox kita setiap hari mengabarkan tentang berita COVID-19 ataupun webinar dengan beragam topik dan pembahasan. 


Mungkin jika ada satu kekhasan dari manusia modern yang hidup di atas tahun 2000, maka interaksinya dengan gawai, internet, dan teknologi adalah satu yang paling menonjol dari sekian banyak interaksi lainnya. Munculnya gelombang internet yang ditandai dengan dotcom bubble, ditambah dengan perlombaan perusahaan teknologi raksasa untuk menciptakan inovasi lewat gawai, yang dimulai Ketika Steve Jobs meluncurkan Iphone di tahun 2009, merupakan hal yang revolusioner dan merubah cara kita berinteraksi dengan sosial dan dengan lingkungan sekitar. Salah satu yang semakin bertumbuh dahsyat setelah gawai-gawai pintar mulai diperkenalkan adalah informasi. Arus informasi menerjang bagaikan banjir bandang, terkadang tak jarang menyapu kewarasan dan kesadaran kita. Kita menjadi semakin dikuasai oleh benda kecil di tangan, secara aktif melahap segala informasi yang mampir dan dicerna oleh otak kita.


Memang kalimat di atas terasa berlebihan, namun jika kita mau melihat data statistik, bahwa informasi yang ada di dunia saat ini sudah bertumbuh sekitar 5 kali lipat dari yang ada di tahun 1980-an, perkembangan yang sangat signifikan. Informasi ini kemungkinan berasal dari interaksi manusia yang pindah ke alam media sosial, membuat penyebarannya semakin cepat. Bayangan bahwa perusahaan yang mendapatkan akses akan informasi dengan begitu mudahnya akan lebih sukses, berdasarkan penelitian di Harvard Business Review, menjadi tidak absolut, karena informasi yang berlebihan justru dapat mengganggu kinerja karyawan sehingga mereka kehilangan produktivitasnya. Kerugian yang dialami oleh ekonomi Amerika Serikat mencapai ratusan milyar dolar, menurut Jonathan Spira, peneliti Lembaga riset Basex. Tidak heran memang jika statistic mengatakan data yang ada di tengah-tengah kita sekarang lima kali lebih banyak dari sebelumnya. Jika ditarik jauh ke belakang, sebenarnya hal ini tidak mengagetkan jika kita membuka buku-buku lama yang dikarang oleh para futuris seperti Alvin Toffler di tahun 1970-an. Dia mengatakan bahwa gelombang banjir informasi akan menerpa manusia ketika mereka sudah sangat bergantung kepada teknologi. Sebuah ramalan yang tepat dan mungkin tidak masuk akal Ketika dia mencetuskan ini di tahun 1970. Namun, istilah ‘information overload’ atau banjir informasi sendiri pertama kali dicetuskan 10 tahun sebelum ramalan Toffler oleh Bertram Gross, ilmuwan sosial Amerika Serikat dalam bukunya ‘The Managing of Organizations: the Administrative Struggle.’ Di buku itu dia mengartikan banjir informasi sebagai ‘ketika jumlah input yang masuk ke dalam system melebihi kapatisas pemrosesan. Sedangkan pengambil keputusan mempunyai kapasitas pemrosesan kognitif yang cukup terbatas. Akibatnya, Ketika informasi yang berlebihan terjadi, ada kemungkinan terjadinya penurunan kualitas pengambilan keputusan.’ Jika 1960 masih kurang jauh, sebenarnya kekhawatiran akan banjir informasi ini pun sudah eksis sejak zaman Plato di abad ke 3 dan 4 sebelum masehi, Ketika dia menyampaikan keberatannya akan konsep menulis sesuatu dan kekhawatirannya terhadap bertambahnya buku-buku. Di tahun 2020, istilah banjir informasi lebih diasosikan dengan keberadaan internet dan ekosistem digital kita.


Namun, menariknya di tahun-tahun belakangan ini mulai muncul kesadaran akan keruhnya arus informasi yang membanjir di dunia digital kita, orang mulai merasa gelisah terhadap banyaknya ragam informasi yang tersedia. Mulai muncullah istilah-istilah seperti digital minimalism yang dipelopori oleh Carl Newport dalam bukunya yang berjudul sama. Idenya adalah tentang bagaimana me-‘reimagine’ hubungan kita dengan teknologi dengan segala ragam informasi di dalamnya, bukan dengan cara tidak menggunakan dan meninggalkan seluruhnya, tapi dengan berbagai strategi seperti digital declutter, yang ia jelaskan secara rinci di bukunya. Kredo yang ia gunakan adalah bahwa teknologi itu secara instrinsik tidak baik dan juga tidak buruk. Kuncinya adalah menggunakannya/memanfaatkannya untuk mendukung tujuan dan nilai anda, bukan membiarkan teknologi menggunakan/memanfaatkan kita. 


Anjuran untuk memikirkan ulang tentang hubungan kita dengan sosial media juga juga muncul dalam bentuk video seperti di kanal Youtube milik Matt D’Avella dimana dia menceritakan tips dan petunjuknya untuk mereka yang ingin mempraktikkan digital minimalism. Bahkan ada podcast khusus The Minimalist Podcast yang di beberapa edisi juga menjabarkan konsep digital minimalism dan praktiknya di kehidupan keseharian.


Yang lebih ekstrim adalah apa yang dilakukan oleh Sam Winston, seorang seniman berumur 37 tahun. Dia melakukan eksperimen ‘gelap’ dengan menyewa rumah di pedesaan dan mengurung dirinya selama hamper sebulan dalam gelap tanpa sinar matahari sama sekali. Eksperimen ini ia lakukan karena ia ingin membebaskan dirinya dari keributan informasi yang dia rasakan selama ini, dari mulai email hingga notifikasi media sosial. Dengan hanya berbekal pensil dan ponsel untuk merekam catatan suara, Winston berhasil menggali kreativitasnya sebagai seniman yang tidak muncul Ketika ia berada dalam terang. Gelap ternyata menjadi stimulus kreativitas yang cukup efektif, meskipun eksperimen ini juga memiliki efek samping seperti ancaman kekurangan serotonin yang terstimulus hanya Ketika berada dalam terang. Dan juga munculnya memori-memori masa lalu, dari mulai yang sedih dan Bahagia yang tiba-tiba berselewiran mengisi ruang pikirnya ketika dia menyendiri dalam gelap. Winston memberi perumpaan menarik setelah ia keluar dari ruangan gelap selama hamper sebulan, ia berkata, “Rasanya seluruh system dalam tubuhku direset ulang.. seperti dilahirkan Kembali, namun dengan kepala orang dewasa.. aku ingat berada di dalam ruangan seperti orang yang polos tak memiliki kesalahan. Seperti para astronot di luar angkasa yang memandang bumi dan bertanya-tanya bagaimana mungkin perang bisa terjadi, bagaimana bisa kita semua menjadi kebingungan.”


Eksperimen yang dilakukan Winston mungkin ekstrem dan tidak praktis untuk dilakukan, namun ini menunjukkan kepada kita satu hal bahwa dengan melemahkan fungsi indera penglihatan, yang mana merupakan indera yang paling dominan, dan membebas tugaskannya dari mencerna berbagai macam informasi dan gambar-gambar yang terkadang malah membuat cemas, Winston berhasil membuktikan bahwa indera-indera yang lain menjadi semakin kuat, mendorong munculnya stimulus kreativitas yang mungkin tak pernah hadir sebelumnya. Apa yang dilakukan Winston sebenarnya merupakan usaha untuk meredam sinapsis di otak yang meledak-ledak Ketika kita mendapati, misalnya notifikasi media sosial, atau melihat gambar-gambar yang menarik, seperti banyak dikemukakan oleh neuroscientist dan pakar psikologi. Singkatnya, ini adalah usahanya untuk meraih kembali focus dalam dirinya yang mungkin terbenam dalam lumpur-lumpur distraksi yang meracaui hidupnya. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Stina Jonsson, seorang desainer antar muka, yang mempertanyakan kebenaran adanya masalah banjir informasi, dan menyarankan bahwa dilakukan reframing ulang terhadap konsep ini. Dia justru berargumen bahwa munculnya perasaan seperti informasi yang membanjir itu karena kurangnya informasi, yang dia sebut sebagai ‘information underload.’ Itulah mengapa membuka sosial media menjadi sesuatu yang membuat ketagihan, karena kita dipaksa untuk merefresh lini masa terus menerus dengan hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai apa reward yang kita dapat dari ini semua. Reward tersebut berupa like dan retweet yang akan kita terima secara berkala, tidak pada satu waktu. Seperti tikus dalam eksperimen Skinner box yang justru melakukan konsumsi makanan secara tidak terkontrol banyaknya ketika diasup dengan makanan secara berkala.


Jonsson mengusulkan bahwa kunci mengatasi banjir informasi adalah bukan dengan mengurangi jumlah informasi atau tidak mengkonsumsi informasi sama sekali, tetapi lebih pada menciptakan alat atau system baru untuk mengelola jumlah asupan informasi yang kita miliki hari ini, memikirkan ulang bagaimana menyimpan, mengurutkan, memilih, dan meringkas informasi. Peran ini bisa dibantu oleh teknologi semacam kecerdasan buatan dan IoT.


Jika mau diperhatikan Kembali, apa yang dikemukakan oleh Jonsson tidak usah dijadikan penyangkalan adanya banjir informasi, tetapi dapat dijadikan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cara yang lebih elegan dan efektif. Ide Jonsson bagus dikembangkan untuk orang yang tidak ingin meremehkan dan juga tidak ingin berlebih-lebihan dalam menyikapi masalah ini. Jika sudah mengetahui kedua argument mengenai banjir informasi, apakah ada hal praktis yang dapat kita lakukan? Steve Glaveski meringkasnya secara apik dalam artikel blognya “How to Beat Information Overload.” Dia berkata untuk mengatasi masalah ini, kita harus, dalam istilahnya, ‘mencari sinyal di tengah suara-suara berisik.’


Pertama adalah menentukan tujuan. Tujuan yang jelas yang dapat menuntun sehingga tidak tersesat dengan banyaknya informasi. Tujuan akan dengan sendirinya menyeleksi mana informasi yang benar-benar penting, mana yang tidak.


Kedua adalah mengenali figure yang dapat dipercaya. Cari figure yang dianggap inspiratif dan baca tulisan, buku, dan podcastnya. Paling praktis adalah dengan membaca semua rekomendasi buku yang dia sarankan dan mulai dari sana.


Ketiga adalah mengetahui apa yang para figure tersebut sepakat untuk merekomendasikannya. Cari buku-buku atau website yang secara universal direkomendasikan oleh para pakar dan buat catatan tentangnya. Dari buku tersebut, petualangan itu dapat dimulai dengan membaca buku-buku yang masih satu topik sehingga pengetahuan yang didapat menjadi kaya dan luas. Buku-buku seperti karangan Marcus Aurelius adalah salah satu buku yang masuk dalam kategori ini.


Keempat. Jika buku atau konten yang dikonsumsi tidak cocok dengan kemauan dan selera, maka jangan segan-segan untuk melewatkannya dan pindah ke konten lain. Ada rule of thumb praktis, yaitu aturan ‘100 dikurangi umur’, yaitu jika saya berumur 26 tahun saat ini, maka saya harus membaca dulu 72 halaman sampai memutuskan bahwa buku ini layak dilanjutkan ataukah tidak.Jika saya tidak merasakan getaran Ketika membaca buku ini, maka saatnya menutup buku dan pindah ke buku lain.


Kelima. Satu konsep yang bekerja pada satu orang tidak berarti akan bekerja pada orang lain. Setiap orang memiliki kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Tak jarang ada buku yang relevan dibaca sepanjang zaman, biasanya merupakan magnum opus dari penulis bersangkutan, seperti tulisan-tulisan George Orwell, atau tulisan teolog muslim macam Ghazzali. Namun tak sedikit juga ada buku-buku yang hanya relevan di tahun tertentu, sehingga harus dilakukan yang disebut ‘extract, test, apply, discard.’ Yaitu menarik informasi yang penting, mengaplikasikannya pada hidup keseharian, melakukan tes, dan menyampingkannya apabila memang ide-ide atau solusi-solusi yang dikemukakan tidak lagi relevan.


Banjir informasi bukanlah mitos atau sesuatu yang mengada-ada. Ia ada dan bisa kita rasakan di tengah-tengah kehidupan. Namun, untuk mengatasinya diperlukan kewarasan dan akal sehat sehingga muncul inovasi dan solusi untuk mengatasi masalah yang tidak pernah ada sebelumnya ini.


10 views0 comments

Comments


bottom of page